Amanah adalah karakter terpuji yang dimiliki para Nabi, bukan sekedar sifat terpuji, namun terimplementasi dari aktivitas yang dilakukan. Amanah mencakup perkataan, perbuatan, akhlak dan keyakinan. Sifat agung para Nabi ini dapat kita temui di dalam Al-Qur’an surat Asy-Syu’ara 146
“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu”.
Sifat amanah merupakan sifat terpuji yang dimiliki setiap insan, setiap orang beriman, setiap diri sesuai fitrahnya, karena tidak ada penolakan bagi sesiapapun jika memiliki sifat amanah merupakan sifat terpuji yang tidak tertolak.
Sungguh pada diri manusia telah tersemat amanah yang besar, sebagaimana Allah kabarkan dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab 72 :
“ Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”.
Dengan kedudukan manusia sebagai pengemban amanah dalam memakmurkan bumi, sebagai khalifah dimuka bumi, Allah telah berikan begitu banyak petunjuk, begitu banyak hikmah, dan telah menurunkan Nabi dan rasul sebagai tauladan dalam menjalani kehidupan di bumi, dan sebagai podoman pokok dalam mengemban amanah ini adalah Al-Qur’an dan hadis yang akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman. Insya Allah dengan kuat kita pegang petunjuk ini, Allah akan memudahkan kita menjalankan amanah yang ada.
Anak Adalah Amanah
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinannya. Seorang lelaki menjadi pemimpin dalam keluarganya, seorang wanita menjadi pemimpin dirumah suami dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya./ HR. Bukhori
Anak terlahir suci dan bersih, dan orang tualah yang menjadikan mereka baik atau buruk sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim “Kullu Mauludin Yuuladu ‘Alal Fitrah” artinya, “setiap anak dilahirkan fitrah /suci bersih dan kedua orang tualah yg menjadikan mereka Yahudi, Majusi atau Nasrani”.
Dua hadist diatas telah mewakili makna anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya, namun perkembangan dunia pendidikan saat ini, sekolah juga mengambil peran yang besar untuk mewujudkan generasi yang lebih baik. Dan amanah itu dipikul oleh para pendidik (guru) yang turut memberikan pendidikan kepada seluruh peserta didik, dari usia dini hingga ke perguruan tinggi, atau minimal hingga tingkat jenjang menengah atas.
Menjadi Pendidik Amanah
Mengutip firman Allah dalam al-qur’an, yang artinya “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Q.Surat An-Nisa ayat 9.
Pendidikan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk mendidik generasi menjadi lebih baik, menjadi lebih kokoh, menjadi lebih kuat, menjadi manusia seutuhnya sebagai mana tokoh pendidikan bangsa ini bapak Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan adalah “pendidikan yang holistik, dimana murid atau peserta didik dibentuk menjadi insan yang berkembang secara utuh meliputi olah rasio, olah rasa, olah jiwa dan olah raga melalui proses pembelajaran dan lainnya yang berpusat pada murid dan dilaksanakan dalam suasana penuh keterbukaan, kebebasan, serta menyenangkan”.
Hal ini sejalan dengan undang-undang pendidikan RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Begitu penting arti pendidikan ini, begitu juga dengan Guru yang bertanggung jawab dan amanah dalam pengabdiannya akan melahirkan generasi sesuai harapan dunia, yaitu generasi yang mampu memenuhi empat pilar pendidikan menurut UNESCO;
- learning to know (upaya belajar dengan membahas beragam ilmu pengetahuan dan mengaitkannya dengan realitas kehidupan),
- learning to do (keahlian yang dilatih kepada peserta didik, di mana manfaat dari keahlian tersebut tidak hanya dirasakan oleh peserta didik, namun juga dirasakan oleh masyarakat sekitar),
- earning to be (pembelajaran bermakna yang dirasakan peserta didik sehingga menjadikan mereka tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik), dan
- learning to live together (pembelajar yang sadar pentingnya menghormati perbedaan, menjaga keselarasan, dan toleran terhadap suku bangsa, ras, dan agama yang berbeda untuk mewujudkan kehidupan harmonis antar satu dengan yang lainnya).
Pentingnya pendidikan bagi generasi, bagi peserta didik, bagi penerus peradaban membutuhkan proses yang luar biasa, dan amanah itu ada pada guru sebagai ujung tombak pendidikan yang memberikan pendidikan, pengajaran, serta teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Dan untuk mendukung amanah pendidikan yang diemban, guru diharapkan dapat memiliki nilai-nilai yang harus terus ditumbuh dan kembangkan secara kontiniu, diantaranya :
- Memiliki niat tulus dan ikhlas
Niat sebagai titik nol aktivitas perlu mendasari setiap individu melakukan kegiatan yang mulia, sebagai pendidik adalah harus diawali dengan niat tulus karena lillahita’ala, sebagai penerus kewajiban para Nabi, sebagai upaya menguatkan peradaban dan untuk kemajuan peserta didik dalam meningkatkan dan menyempurnakan peran kemanusiaanya. - Memiliki profesionalisme sebagai pendidik/guru
4 kompetensi guru menjadi rel pembelajaran yang harus dimiliki guru, dengan pemahaman yang utuh dan terintegrasi satu sama lain akan memberikan dampak terhadap proses pendidikan di sekolah. Kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi social dan kompetensi professional merupakan pegangan awal untuk menjadi guru yang professional, menjadi guru yang digugu dan ditiru, menjadi guru yang mengembangkan kompetensi peserta didik, menumbuhkan semangat belajar, menumbuhkan kecintaan pada tuhan yang maha esa, menumbuhkan kepedulian terhadap sesama dan lingkungan, menumbuhkan kreativitas dan bernalar kritis, menghargai perbedaan sebagai satuan komponen hidup yang saling melengkapi, yang pada akhirnya mampu mencapai tujuan pendidikan seutuhnya yaitu manusia paripurna. - Memberikan keteladan dalam kehidupan
Guru sebagai teladan bagi peserta didik harus memiliki sikap dan kepribadian utuh yang dapat dijadikan tokoh panutan dan idola dalam seluruh segi kehidupannya. Guru harus selalu berusaha memilih dan melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan kewibawaannya, terutama di depan murid-muridnya sehingga layak menjadi panutan tutur katanya, tingkah lakunya, cara berfikir dan bersikapnya. - Bersikap terbuka dan kasih sayang
Menjadi guru mendidik dengan hati, mungkin hal ini menjadi titik awal untuk menumbuhkan kedekatan antara guru dan siswa, menjadi penghubung interaksi terbuka antara guru dan siswa, sehingga dengan keterbukaan guru terhadap kekurangan dan sikap atau pengetahuan yang belum muncul pada diri siswa akan menimbulkan dampak terhadap keterikatan siswa untuk belajar.
Kasih sayang yang tumbuh karena kesadaran akan menimbulkan kasih sayang yang berbalas, sehingga membangun kedekatan positif dan saling melengkapi. Ini bukan sekedar bicara kasih sayang antar lawan jenis, tapi ini merupakan kasih sayang yang tulus untuk menumbuhkan kesadaran diri peserta didik untuk mau belajar, untuk mau berbagi ilmu, untuk mau mengaplikasikan kebaikan yang telah diperoleh disekolah dan menjadi kebiasaan baik yang mengakar menjadi karakter diri peserta didik. - Berlaku sabar
Kisah imam syafi’i dan muridnya menjadi pelajaran bagi kita yang mendeklarasikan dirinya sebagai guru, bagaimana tidak, kesabaran super yang harus dimiliki guru menjadi titik balik proses pembelajaran yang dialami siswa. Dalam buku Ensiklopedia Imam Syafi’i karya DR. Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi (25/5) dikisahkan perjalanan Rabi dalam menuntut ilmu. Rabi selalu hadir ketika Imam Syafi’i menyampaikan ilmu dalam majelis. Namun Rabi selalu gagal memahami ilmu yang disampaikan Imam Syafi’i. Dengan sabar, Imam Syafi’i yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi al-Qurasyi ini dengan sabar kembali mengulang pelajaran yang disampaikan. Dengan kesabarannya, Imam Syafi’i mengulang lagi pelajaranya dan menanyakan: “Sudah faham belum?”.Berulang kali juga Rabi mengatakan belum faham.
Dengan penuh kesabaran, Imam Syafi’i menjelaskan dan menyampaikan ilmunya. Dan lagi-lagi Rabi tak bisa memahami. Sampai suatu hari Imam Syafi’i mengatakan kepada Rabi sebuah kalimat yang menenangkan sekaligus menjadi motivasi.
“Muridku, sebatas inilah kemampuanku mengajarimu. Jika kau masih belum paham juga, maka berdoalah kepada Allah agar berkenan mengucurkan ilmu-Nya untukmu. Saya hanya menyampaikan ilmu. Allah-lah yang memberikan ilmu.” ujar Imam Syafi’i.
Dengan kesabaran, Rabi’ bin Sulaiman bukan hanya dikenal sebagai muadzin bersuara merdu. Pria yang lahir pada Tahun 174 Hijriyah dan wafat pada Tahun 270 Hijriyah ini kemudian berkembang menjadi salah satu ulama besar Madzhab Syafi’i dan termasuk perawi hadis yang sangat terpercaya dalam periwayatannya.
Dari kisah ini, sabarnya seorang guru harus melebihi keinginan agar siswa dapat menyerap ilmu yang diajarkan, dan dengan sungguh sungguh memberikan bimbingan dan arahan agar setiap peserta didik dapat memahami dengan baik, dan mendapatkan momentum pemahaman atas kehendak Allah.